Powered By Blogger

Minggu, 17 Juli 2011

‎"Belajar malu dari Pak Situr

‎"Belajar malu dari Pak Situr - Idza lam tastahyii fashna’ maa syi’ta Disudut terminal terdengar seseorang berguman duh dimana malu kok rasanya semua orang menjauhinya!!!!!!! Terlihat sepasang kekasih berpelukan tanpa merasa risih dilihat orang banyak. Aku seperti ditegur apakah aku juga masih mengenal malu?, merasa malu pada Allah?, Teramat banyak ni’mat dan pertolongan yang Allah Ta’ala berikan kepadaku, namun justru kubalas dengan kema’siatan-kema’siatan yang semakin hari membuatku semakin jauh dari Allah, Dzat Yang Maha Besar, yang memberiku beribu bahkan bermilyar kenikmatan yang aku tak mampu menghitungnya. Dikala aku benar-benar membutuhkan Pertolongan Nya , Ampunan-Nya, Karunia-Nya jauh lebih cepat datangnya dibandingkan dengan permintaan dan permohonanku…Allah..Astaghifir​ullah (Ampunilah hamba-Mu yang khilaf ini)…. Dikala hatiku sedang gelisah, entah kenapa kuyakinkan bahwa dengan mengingat-Mu lah aku menjadi tegar, kembali senyum, dan kembali semangat untuk kerja keras setiap saat. dan Subhanallah…memang itulah janji-Mu kepada hamba-Mu, ..Allah … Astaghfirullah (Ampunilah hamba-Mu yang tidak tahu malu ini)…. Dikala ujian dan cobaan menyapa kita mengapa kita resah dan menuduh-Nya memberikan kita sesuatu yang tak patut, mengapa kita lupa bahwa Allah takkan membebani hamba-Nya melebihi kemampuannya, hanya saja , betapa mudahnya kita putus asa, sedikit saja ujian dan cobaan, bukannya istighfar, dzikir, muhasabah yang kulakukan, akan tetapi kita hanya bisa mengeluh dan mengeluh….,Allah..Forgive me when I whine…(Allah ampunilah bila aku sering mengeluh)… Saudaraku dikala kita berdoa dan meminta sesuatu pada-Nya sepatutnya kita merintih ya Allah, kuyakin Engkau kan berikan dan Engkau Maha Mendengar atas doa hamba-hamba-Mu. Akan tetapi, diriku inilah yang sering berburuk sangka kepada-Mu atas permintaan dan doa-doaku , kadang aku mengeluh, kadang aku putus asa, itulah sikap ketidaktahuanku atas Hikmah yang Engkau berikan kepadaku…sungguh..saat ini kuyakin bahwa apa saja yang Kau berikan kepadaku, itulah yang terbaik buatku…Allah ….Astaghfirullah (Allah, ampunilah hamba-Mu yang jarang bersyukur dan bersabar ini). “Ingatlah, dengan mengingat Allah dapat menentramkan hati” (Ar-Ra’d:28) Tak salah kita mengutip satu cerita untuk muhasabah diri. Pak Situr, lelaki separuh abad ini sehari-hari bekerja sebagai pemecah batu di bilangan Lampung. Kulitnya hitam legam, kontras dengan rambutnya yang memutih, karena sengatan sinar matahari. Sejak pagi buta setelah shalat subuh, Pak Situr sudah berjalan 4 kilometer menaiki jalan mendaki nan terjal menuju bukit cadas. Bermodalkan palu, nasi putih, ikan asin/ tempe dan sebotol air yang dimasak sang isteri, dia mengarungi pekerjaannya sepanjang hari. Memecah batu demi batu yang sangat keras, menjadi serpihan sebesar telapak tangan. Suara dentingan palu dan batu menjadi irama yang memekakkan telinga. Tengah hari, ketika matahari tepat di atas kepala dan bayang-bayang tubuh terinjak kaki, Pak Situr menengadah ke langit. Batu belum banyak terkumpul, tetapi dia segera beranjak seolah mendengar panggilan yang sangat penting. Adzan memang tidak terdengar di tengah bukit cadas itu. Tetapi waktu tengah hari adalah saat Allah memanggil kekasih-Nya. Begitu Pak Situr menjelaskan. Subhanallah, untuk mencari air wudhu Pak Situr harus berjalan bolak-balik sekitar 40 menit menuruni celah lembah yang sangat curam dan berbahaya. Gemercik air seperti memanggil tubuhnya yang setengah hari seperti mendidih terpanggang. “Pak Situr maaf, bukan bermaksud mengajari, tetapi jika sulit mendapatkan air, Bapak diperboleh-kan bertayamum”, usulku. “Iya Dek. Tetapi saya malu sama Gusti Allah. Kalau untuk anak dan istri yang saya cintai, saya berani kerja keras sepanjang hari, bagaimana untuk Allah yang telah memberikan segalanya, saya tak sanggup luangkan waktu setengah jam untuk membasuh tubuh?” Saya tersentak. Betapa untuk segera ambil air wudhu yang beberapa langkah dari kita atau untuk turun satu lantai dan shalat berjamaah, atau bahkan untuk mendatangi mushola di depan rumah, kita lebih sering alpa? Pak Situr adalah sosok yang istimewa. Begitu menjaga ibadah seolah tak mau mengabaikan pertemuan dengan Tuhan. Begitu memperhatikan proses ibadah secara sangat baik, mengikuti kesempurnaan wudhu, sholat dengan penuh khusyu dan menjaga waktu sholatnya. “Untuk anak isteri, saya mencari rejeki yang baik, dan sebisa mungkin melalui cara yang halal saya persembahkan cara ini untuk Allah”. Tidak hanya itu, kepada sesama, dia selalu memberi kambing kurban terbaik di musholanya setiap tahun. Dia juga menjadi penyumbang tetap dana yatim di kampungnya. Mengajar ngaji untuk anak-anak setiap petang. Dia mengutamakan persembahan untuk Allah lebih special, dari pada untuk kehendak dirinya. Hidupnya selalu berkecukupan dan bahagia, meskipun pekerjaannya hanya tukang batu. Boleh jadi tubuhnya legam dan tidak menarik, tetapi ruhnya mewangi. Dia menjadikan tubuhnya jalan menghamba untuk mensucikan ruhnya. Dalam perjalanan hidup yang sebentar, adalah tapak langkah menuju Allah. Kualitas kita di akhirat adalah buah kehidupan kala di dunia. “Kalau misik kau cucurkan di badanmu, kelak bangkaimu kan tetap berbau busuk. Dua hari setelah itu orang akan menguburnya dua meter di bawah tanah untuk menghindari aroma busuknya yang sangat menyengat. Semprotkan misik itu ke permukaan jiwamu, jangan kau oleskan di daki tubuhmu…” (Jalaludin Rumi). Lima hari yang lalu, kabar duka membahana telepon genggamku. Pak Situr dipanggil menghadap Allah Swt.Innalillahi wa inna ilayhi raji’un. Rumahnya penuh sesak oleh pelayat. Menurut penuturan, belum pernah jenazah di kampungnya diiring ribuan pelayat seperti jenazah Pak Situr. Doa selalu dipanjatkan sepanjang malam oleh yatim-yatim dan santri Sang Guru yang santun. Tahun ini tak ada lagi kambing kurban terbaik di mushola, tak dijumpai senyum dan salam manis guru yang mengajar huruf demi huruf al-Qur’an. Jalan akan merindukan tapak kakinya yang pecah-pecah terantuk batu. Gemercik air sungai menangis, karena badan penghamba itu tidak mengambil wudu lagi darinya. Pecahan batu yang bertumpuk juga tak akan mendengar lagi, bisik tasbih hati pecinta Ilahi di sampingnya. Pak Situr, semoga ruhmu bertemu kecintaanmu, Rasulullah Saw. Manusia mulia yang mencium tangan pecah-pecah sahabatnya yang juga tukang batu, Sa’ad Al-Anshori sambil berucap, “tangan inilah yang tidak akan tersentuh api neraka”. Semoga Allah memeluk ruhmu, yang kau persembahkan spesial untuk-Nya. MALU ADALAH BAGIAN DARI IMAN. Malu adalah akhlak yang menghiasi perilaku kita dengan cahaya dan keanggunan yang ada padanya. Inilah akhlak terpuji yang sepatutnya ada pada diri kita dan fitrah yang mengkarakter pada tingkahlaku. Sehingga, sangat tidak masuk akal jika ada kita yang tidak ada rasa malu sedikitpun dalam dirinya. Kesantunan laku kita salah satunya adalah buah dari adanya sifat malu dalam diri kita. Apa sih sifat malu itu? Imam Nawani dalam Riyadhush Shalihin menulis bahwa para ulama pernah berkata, “Hakikat dari malu adalah akhlak yang muncul dalam diri untuk meninggalkan keburukan, mencegah diri dari kelalaian dan penyimpangan terhadap hak orang lain.” Abu Qasim Al-Junaid mendefinisikan dengan kalimat, “Sifat malu adalah melihat nikmat dan karunia sekaligus melihat kekurangan diri, yang akhirnya muncul dari keduanya suasana jiwa yang disebut dengan malu kepada Sang Pemberi Rezeki.” Pandangan sebagian ulama mengatakan ada tiga jenis sifat malu, yaitu kesatu, malu yang bersifat fitrah. Misalnya, malu yang dialami saat melihat gambar seronok, atau wajah yang memerah karena malu mendengar ucapan jorok; Kedua, malu yang bersumber dari iman. Misalnya, kita menghindari berbuat maksiat karena malu atas muraqabatullah (pantauan Allah).; Ketiga , malu yang muncul dari dalam jiwa. Misalnya, perasaan yang menganggap tidak malu seperti telanjang di hadapan orang banyak. Karena itu, beruntunglah kita yang masih memiliki rasa malu. Kata Ali bin Abi Thalib, “Orang yang menjadikan sifat malu sebagai pakaiannya, niscaya orang-orang tidak akan melihat aib dan cela pada dirinya.” Bahkan, Rasulullah menjadikan sifat malu sebagai bagian dari cabang iman. Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Iman memiliki 70 atau 60 cabang. Paling utama adalah ucapan ‘Laa ilaaha illallah’, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan di jalan. Dan sifat malu adalah cabang dari keimanan.” HR. Muslim Saudaraku, tidak akan ada sifat malu dalam diri kita yang tidak beriman, Akhlak yang mulia ini tidak akan kokoh tegak dalam jiwa kita yang tidak punya landasan iman yang kuat kepada Allah swt. Sebab, rasa malu adalah pancaran iman. Sifat malu tidak akan mendatangkan kemudharatan, karena sifat ini membawa kebaikan bagi pemiliknya. “Al-hayaa-u laa ya’tii illa bi khairin, sifat malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan,” HR. Bukhari Kita yang kehilangan sifat malunya yang tersisa dalam diri hanyalah keburukan, buruk dalam ucapan, buruk dalam perangai. Tidak bisa kita bayangkan jika dari mulut kita meluncur kata-kata kotor lagi kasar. Bertingkah dengan penampilan seronok dan bermuka tebal. Tentu bagi dia surga jauh. Kata Nabi, “Malu adalah bagian dari iman, dan keimanan itu berada di surga. Ucapan jorok berasal dari akhlak yang buruk dan akhlak yang buruk tempatnya di neraka.” HR. Tirmidzi Hiasi diri dengan sifat malu, dan dari mana sebenarnya energi sifat malu bisa kita miliki? Sumber sifat malu adalah dari pengetahuan kita tentang keagungan Allah. Sifat malu akan muncul dalam diri kita jika kita menghayati betul bahwa Allah itu Maha Mengetahui, Allah itu Maha Melihat. Tidak ada yang bisa kita sembunyikan dari Penglihatan Allah. Segala lintasan pikiran, niat yang terbersit dalam hati kita, semua diketahui oleh Allah swt. Sumber sifat malu adalah muraqabatullah. Sifat itu hadir setika kita merasa di bawah pantauan Allah swt. Dengan kata lain, ketika kita dalam kondisi ihsan, sifat malu ada dalam diri kita. Apa itu ihsan? “Engkau menyembah Allah seakan melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu,” begitu jawaban Rasulullah saw. atas pertanyaan Jibril tentang ihsan. Itulah sifat malu yang sesungguhnya. “Malulah kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya.” Kami berkata, “Ya Rasulullah, alhamdulillah, kami sesungguhnya malu.” Beliau berkata, “Bukan itu yang aku maksud. Tetapi malu kepada Allah dengan malu yang sesungguhnya; yaitu menjaga kepala dan apa yang dipikirkannya, menjaga perut dari apa yang dikehendakinya. Ingatlah kematian dan ujian, dan barangsiapa yang menginginkan kebahagiaan alam akhirat, maka ia akan tinggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang melakukan hal itu, maka ia memiliki sifat malu yang sesungguhnya kepada Allah.” HR. Tirmidzi Ingat! Malu. Bukan pemalu. Pemalu (khajal) adalah penyakit jiwa dan lemah kepribadian akibat rasa malu yang berlebihan. Sebab, sifat malu tidaklah menghalangi seorang muslimah untuk tampil menyuarakan kebenaran. Sifat malu juga tidak menghambat seorang muslimah untuk belajar dan mencari ilmu. Contohlah Ummu Sulaim Al-Anshariyah. Saat ini banyak muslimah yang salah menempatkan rasa malu. Apalagi situasi pergaulan pria-wanita saat ini begitu ikhtilath (campur baur). Ketika ada lelaki yang menyentuh atau mengulurkan tangan mengajak salaman, seorang muslimah dengan ringan menyambutnya. Ketika kita tanya, mereka menjawab, “Saya malu menolaknya.” Bagaimana jika cara bersalamannya dengan bentuk cipika-cipiki (cium pipi kanan cium pipi kiri)? “Ya abis gimana lagi. Ntar dibilang gak gaul. Kan tengsin (malu)!” Bahkan ketika dilecehkan oleh tangan-tangan jahil di kendaraan umum, tidak sedikit muslimah yang diam tak bersuara. Ketika kita tanya kenapa tidak berteriak atau menghardik lelaki jahil itu, jawabnya, sekali lagi, saya malu. Saudaraku, jelas itu penempatan rasa malu yang salah. Tapi, anehnya tidak sedikit muslimah yang lupa akan rasa malu saat mengenakan rok mini. Betul kepala ditutupi oleh jilbab kecil, tapi busana ketat yang diapai menonjolkan lekak-lekut tubuh. Betul mereka berpakaian, tapi hakikatnya telanjang. Jika dulu underwear adalah busana sangat pribadi, kini menjadi bagian gaya yang setiap orang bisa lihat tanpa rona merah di pipi. Begitulah jika urat malu sudah hilang. “Idza lam tastahyii fashna’ maa syi’ta, bila kamu tidak malu, lakukanlah apa saja yang kamu inginkan,” HR. Bukhari Semoga Allah senantiasa menuntun langkah kita kepada sifat malu yang menghantarkan kita untuk selalu berbuat baik dan mencegah dari kejahatan dan kerendahan akhlak. Amin…! Mohon maaf atas kekurangan, kesempurnaan milik Allah semata. Andai ada setitik hikmah itu dari-Nya. Wallahu muwafiq illa aqwmith thariq. Wassalamualaikum saudaraku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar