Powered By Blogger

Kamis, 14 Juli 2011

kisah inspiratif

Bilal bin Rabah, Muadzin Pertama Islam siapa tak kenal Bilal bin Rabah. Ia merupakan muadzin pertama yang dimiliki umat Islam. Bilal juga termasuk golongan pertama yang masuk Islam atau tepatnya orang ketujuh yang masuk Islam pertama kali. Namanya adalah Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, memiliki kisah menarik tentang sebuah perjuangan mempertahankan aqidah. Sebuah kisah yang tidak akan pernah membosankan, walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan membuat setiap orang tetap penasaran untuk mendengarnya. Bilal lahir di daerah As-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam). Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir. Ketika Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad. Perkenalan Bilal dengan Islam bermula ketika ia masih menjadi budak Umayyah. Perbincangan Umayyah dengan tamunya soal kehadiran agama baru yang dibawa Muhammad secara tak sengaja terdengar oleh Bilal. Meski belum mengenali Nabi Muhammad secara pribadi, namun Bilal telah sering mendengar sosoknya. Lelaki bersahaja dan juga jujur dari Bani Hasyim itu sangat dihormati oleh bangsa Quraisy. Seketika ketertarikan Bilal terhadap Islam dan ajaran yang dibawa Muhammad membuncah. Bilal pun segera menemui Abu Bakar yang sudah terlebih dahulu masuk Islam. Bilal meminta Abu Bakar untuk mengantarnya menemui Rasulullah SAW. Tak perlu waktu lama bagi Bilal untuk menyatakan keislamannya. Keimanan Bilal langsung diuji setelah bersyahadat. Jika Abu Bakar dan bangsawan Quraisy lainnya aman dari perlakuan kejam sesama bangsa Quraisy yang benci terhadap Islam, lain halnya dengan Bilal. Sebagai budak dari anggota suku Quraisy terkejam, Bilal dipaksa untuk keluar dari Islam dan kembali kepada agama nenek moyangnya yang menyembah berhala. Majikannya, Umayyah memaksa Bilal keluar dari Islam dengan segala cara. Pada siang yang terik, Bilal dipaksa memakai baju besi kemudian dikubur dalam pasir yang sangat panas hingga hanya kepalanya saja yang nampak. Ia pun sering dipaksa Umayyah untuk berbaring telentang di atas pasir yang sangat panas. Kemudian tubuh Bilal ditindih oleh batu yang sangat besar dan berat. Di lain waktu, Bilal diikat lehernya dan diseret ke kota Mekkah. Meski demikian, Bilal tetap bertahan seraya berucap “Ahad, Ahad.” Suatu kali, akibat penyiksaan yang luar biasa kejam ini, Bilal pingsan. Ketika ia sadar kembali, ia menghadapi teriakan Umayyah yang memaksanya untuk keluar dari Islam. Dengan kejam Umayyah mengancam akan membunuhnya dengan menyiksanya kecuali ia tidak mengakui Muhammad SAW sebagai utusan Tuhan. Namun Bilal tetap kokoh dan bertahan dengan keyakinannya. Suatu hari, Abu Bakar berjalan melintasi tempat dimana Bilal sedang mengalami penyiksaan. Karena kasihan, Abu Bakar pun segera meminta Umayyah menjual Bilal kepadanya. Diriwayatkan dari Qais, dia berkata, Abu Bakar memerdekakan Bilal saat dia ditindih dengan batu dan membelinya dengan emas seberat 5 uqiyah/awaq emas (1 uqiyah/awaq = 40 dirham). Namun Abu Bakar tetap membayarnya. Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya.” Abu Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya. Bilal kemudian dimerdekakan oleh Abu Bakar r.a dan bekerja pada Abu Bakar. Namun kemudian ia berhenti dan memutuskan membantu Rasulullah SAW menyebarkan ajaran Islam. Bilal juga menjadi pengawal Rasulullah SAW yang senantiasa siap membela Rasul. Ketika Rasulullah pergi hijrah ke Madinah, Bilal termasuk yang ikut serta. Ia selalu menemani dan menjaga Rasulullah kemanapun, termasuk dalam setiap peperangan. Pada awalnya, untuk mengetahui jam shalat, umat Islam menjalankannya dengan terlebih dahulu menentukan waktu kemudian berkumpul untuk shalat. Namun karena menyulitkan, akhirnya Rasulullah SAW berpikir untuk memanggil umat menggunakan terompet. Namun Rasulullah SAW sendiri tidak menyukai ide ini karena orang Yahudi juga menggunakan cara yang sama. Akhirnya disepakati panggilan azan ketika memasuki jam shalat dilakukan dengan tepukan tangan. Tak berapa lama kemudian, salah seorang sahabat, Abdullah bin Zaid datang menemui Rasulullah. Ia berkata bahwa ia bermimpi bertemu seorang pria yang menggunakan dua helai kain berwarna hijau seraya membawa bel. Dalam mimpi itu, Abdullah lalu menawarkan diri untuk membeli bel tersebut. Ketika pria itu bertanya untuk tujuan apa ia gunakan bel tersebut, Abdullah menyatakan bahwa bel itu akan ia gunakan untuk memanggil orang-orang untuk sholat. Namun pria itu menawarkan panggilan shalat yang lebih baik yaitu menyebutkan empat kali seruan “Allahu Akbar” lalu dua kali seruan “asyhadualla ilaaha illallah”, kemudian dua kali seruan “asyhadu Annamuhammadarrasulullah”, lalu dua kali seruan “hayya ‘alas sholah”, dua kali seruan “hayya ‘alal falah” lalu “Allahu Akbar, Allahu Akbar, laa ilaaha illallah”. Dengan gembira, Rasulullah SAW menyatakan bahwa itu itu adalah sebuah penglihatan baik. Rasulullah SAW segera meminta Abdullah pergi menemui Bilal dan mengajarkan adzan tersebut padanya. Bilal dipilih sebagai muadzin karena ia memiliki suara indah dan keras, sehingga bisa menjangkau jarak yang jauh. Sejak saat itulah pertama kali adzan diperdengarkan di kota Madinah dan Bilal menjadi muadzinnya. Setiap usai melantunkan adzan, Bilal selalu berdiri di depan pintu rumah Rasulullah SAW dan berkata “Hayya alas-salah, hayya ‘alal-falaah (Mari kita Shalat, Mari dirikan kemenangan).” Ia berucap mengingatkan Rasulullah SAW bahwa telah masuk waktu shalat. Begitulah Bilal setiap kali ia usai melantunkan adzan. Bilal sangat menikmati perannya sebagai muadzin Rasul sampai kemudian Rasulullah SAW meninggal dunia. Meski semua umat Islam larut dalam kesedihan, mereka tidak melupakan kewajiban shalat. Karena itulah mereka meminta Bilal untuk kembali melantunkan adzan. Bilal pun bersiap mengumandangkan adzan pertamanya setelah wafatnya Rasul. Namun baru saja ia berucap “Allahu Akbar..” dan hendak mengucap nama Rasulullah SAW, ia tidak kuasa menahan kesedihan. Bilal menangis terisak-isak sehingga ia tidak meneruskan adzannya. Ia lalu berkata bahwa ia tidak akan pernah lagi mengumandangkan adzan. Dalam sebuah riwayat, ketika rasulullah saw melakukan isra dan mi’raj, rasulullah mendengarkan suara langkah kaki manusia didalam syurga. Kemudian rasulullah bertanya kepada Jibril alaihi salam, suara langkah kaki siapakah itu wahai jibril?? kemudian malaikat jibril berkata: itulah Bilal bin Rabah. Kemudian, setelah rasulullah menceritakan kejadian tersebut kepada Bilal, Rasulullah bertanya kepada Bilal: Amalan apakah yang telah kamu kerjakan wahai Bilal, sehingga kamu telah mendahuluiku masuk kedalam syurga? Bilal Menjawab: Wahai Rasulullah, setiap kali aku berhadats aku selalu berwudhu, dan setiap aku selesai berwudhu aku selalu merasa bertanggu jawab kepada allah untuk melaksanakan shalat dua raka’at, kemudian aku melakukannya. (kesimpulannya), Bahwa Bilal bin Rabah senantiasa selalu berada dalam keadaan suci dengan berwudhu selama dalam keadaan terjaga (tidak tidur). Itulah gambaran sebagaimana eratnya hubungan Bilal dengan Allah swt. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, Bilal meminta kepada Abu Bakar yang menjadi khalifah, untuk membiarkannya pergi Suriah. Bilal kemudian menetap di kota Damaskus hingga akhir hidupnya. Dan Bilal hanya melantunkan adzan dua kali. Pertama ketika Umar bin Khattab datang ke Damaskus. Sementara yang kedua ketika ia mengunjungi makam Rasulullah SAW di Madinah. Mendengar suaranya, semua yang hadir menangis karena teringat masa Rasulullah masih ada. Sa’id bin Abdul Aziz berkata, “Menjelang wafat Bilal berkata, ‘Besok para kekasih bertemu dengan Muhammad tercinta dan rombongannya’. Mendengar itu, istrinya berkata, ‘Aduh betapa tragisnya!’ Bilal lalu berkata, ’Aduh betapa senangnya’.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar